Jumat, 04 Juli 2008

“NILAI-NILAI ESTETIKA DAN ETIKA DALAM KEBUDAYAAN”

DIAN IRMAWATI
200741500053
PENDIDIKAN BIOLOGI ( 2-B )
TUGAS PENGANTAR PENDIDIKAN

NILAI ETIKA DAN ESTETIKA DALAM BERBUDAYA

Secara historis perkembangan zaman boleh saja mengalami perubahan yang dahsyat. Namun, peran kesenian tidak akan pernah berubah dalam tatanan kehidupan manusia. Sebab, melalui media kesenian, makna harkat menjadi citra manusia berbudaya semakin jelas dan nyata.
Bagi manusia Indonesia telanjur memiliki meterai sebagai bangsa yang berbudaya. Semua itu dikarenakan kekayaan dari keragaman kesenian daerah dari Sabang sampai Merauke yang tidak banyak dimiliki bangsa lain. Namun, dalam sekejap, pandangan terhadap bangsa kita menjadi ”aneh” di mata dunia. Apalagi dengan mencuatnya berbagai peristiwa kerusuhan, dan terjadinya pelanggaran HAM yang menonjol makin memojokkan nilai-nilai kemanusiaan dalam potret kepribadian bangsa.
Padahal, secara substansial bangsa kita dikenal sangat ramah, sopan, santun dan sangat menghargai perbedaan sebagai aset kekayaan dalam dinamika hidup keseharian. Transparansi potret perilaku ini adalah cermin yang tak bisa disangkal. Bahkan, relung kehidupan terhadap nilai-nilai etika, moral dan budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun, kenyataannya kini semuanya telah tercerabut dan ”nyaris” terlupakan.
Barangkali ada benarnya, dalam potret kehidupan bangsa yang amburadul ini, kita masih memiliki wadah BKKNI (Badan Koordinasi Kebudayaan Nasional Indonesia) yang mengubah haluan dalam transformasi sosial, menjadi BKKI (Badan Kerja sama Kesenian Indonesia) pada Februari lalu. Barangkali dengan baju dan bendera baru ini, H. Soeparmo yang terpilih sebagai ”bidannya” dapat membawa reformasi struktural dan sekaligus dapat memobilisasi aktivitas kesenian sebagaimana kebutuhan bangsa kita. Sebab, salah satu tugas dalam peran berkesenian adalah membawa kemerdekaan dan kebebasan kreativitas bagi umat manusia sebagai dasar utama.

Tulang Punggung
Suatu dimensi baru, jika dalam pola kebijakan untuk meraih citra sebagai manusia Indonesia dapat diwujudkan. Untuk hal tersebut, kebijakan menjadi bagian yang substansial sifatnya. Bukan memberi penekanan pada konsep keorganisasian, sebagai bendera baru dalam praktik kebebasan. Melainkan, bercermin pada kebutuhan manusia terhadap kebenaran, dan nilai-nilai keadilan. Sehingga, kesenian dapat menjadi tulang punggung mempererat kehidupan yang lebih tenang, teduh dan harmonis.
Dalam koridor menjalin kesatuan dan persatuan bangsa, dan mengangkat citra kehidupan manusia Indonesia di mata dunia, perlu adanya upaya yang tangguh dan kokoh. Sebab, tanpa upaya tersebut niscaya kita hanya mengenang masa silam dan mengubur masa depan dari lahirnya sebuah peradaban. Dalam hal ini kita sebagai bangsa yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, tentu tidak akan rela.
Namun demikian, gradasi budaya itu menukik tajam, dan dapat dirasakan sejak jatuhnya rezim Soeharto. Meskipun, pada rezim kekuasaan Orde Baru bukan berarti tidak ada sama sekali pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, justru karena terselubung dengan rapi maka ”borok” kemerosotan moral itu tidak begitu tampak. Tetapi, kini semuanya menjadi serba terbuka dan menganga. Siapa pun punya hak dan kewajiban untuk menjadi ”pelaku” reformasi, tidak sekadar jadi penonton. Itu sebabnya, tidaklah salah jika dalam memperbaiki kondisi bangsa, kita juga proaktif dalam menyikapinya.
Tak dapat disangkal, jika kesenian merupakan kebutuhan dasar manusia secara kodrati dan unsur pokok dalam pembangunan manusia Indonesia. Tanpa kesenian, manusia akan menjadi kehilangan jati diri dan akal sehat. Sebab, kebutuhan manusia itu bukan hanya melangsungkan hajat hidup semata, tetapi juga harus mengedepankan nilai-nilai etika dan estetika. Untuk wujudkan manusia dewasa yang sadar akan arti pentingnya manusia berbudaya, obat penawar itu barangkali adalah kesenian.
Unsur penciptaan manusia sebagai proses adalah konteks budaya. Dalam hal ini, apa yang diimpikan Konosuke Matsushita dalam bukunya Pikiran Tentang Manusia menjadi dasar pijakan kita, jika ingin menjadi manusia seutuhnya. Sebab, pada dasarnya manusia membawa kebahagiaan dan mengajarkan pergaulan yang baik dan jika perlu memaafkan sesamanya. Karena, dari sinilah dapat berkembang kesenian, kesusastraan, musik dan nilai-nilai moral. Sehingga, pikiran manusia menjadi cerah dan jiwanya menjadi kaya.
Bertalian dengan konteks itu, Soeparmo dalam ceramahnya di depan pengurus daerah juga mengatakan hal yang sama. Artinya, jika manusia sudah tidak mampu menjalankan tugas kreativitasnya, maka manusia itu menjadi mandek dan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kondisi Semrawut
Carut marut kehidupan saat ini, semakin tumpang tindih. Persoalan bangsa menjadi bara api yang sulit untuk dipadamkan. Kondisi sosial yang tidak lagi bersahabat, menjadikan manusia makin kehilangan jati dirinya. Bahkan berbagai ramalan menatap masa depan bangsa, hanya berisi pesimistis dan sinis. Jika kearifan yang dimiliki manusia semakin sempit dan terbatas, barangkali kegelisahan sebagai anak bangsa semakin beralasan.
Potret sosial yang kini menjadi skenario massal masih menjadi tekanan dalam konteks berpolitik. Akibatnya, pertarungan yang tidak pernah akan menyelesaikan masalah terus berjalan tanpa ada ”rem” nya. Dan itu dapat kita lihat secara kasat mata, pertunjukan ”dagelan” yang hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan ingin menunjukkan kekuatan dalam menggalang massa.
Padahal, tugas sebagai manusia yang berbudaya senantiasa mengulurkan cinta kasih, perdamaian dan menjaga harmoni kehidupan. Tetapi, kenyataannya sikap dan perilaku dalam potret masa kini, nilai-nilai etika, norma-norma sosial, dan hukum moral menjadi ”haram” untuk dijadikan landasan berpikir yang sehat. Bahkan, upaya untuk berani membohongi diri sendiri, adalah ciri-ciri lenturnya nilai-nilai budaya.
Dimensi sosial semacam ini, Indonesia di mata dunia semakin menjadi bahan lelucon. Apalagi yang harus dijadikan komoditi bangsa dari berbagai aspek kehidupan.

Bicara soal ekonomi, bangsa Indonesia sudah menggadaikan diri nasibnya pada IMF. Soal politik, dianggap ”ludrukan” karena hanya sekadar entertainment. Dan lebih mengerikan lagi, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di daerah-daerah membuat bingkai kemanusiaan semakin tidak memiliki harga diri. Dan masih banyak persoalan seputar kita yang semakin semrawut dan kehilangan konteks dalam pijakan untuk membangun manusia seutuhnya.
Jalan pintas melalui kesenian, barangkali masih bisa menjadi ”mediasi” silahturahmi di mata dunia. Karena dalam pendekatan kesenian, estika, etika, dan hukum moral merupakan ekspresi yang tidak pernah bicara soal kalah menang. Melainkan, dalam korelasi budaya pintu melalui kesenian masih bisa dijadikan komoditi yang bisa dijadikan akses kepercayaan.
Apalagi dengan diberikannya kebebasan terhadap otonomi daerah, melalui undang-undang No.22/1999 harus dipandang sebagai suatu masa pencerahan dalam pembangunan manusia seutuhnya. Karena dengan otoritas yang ada, daerah dapat membangun wilayahnya dan pengembangan terhadap kesenian tidak lagi dijadikan ”proyek” yang sentralistik di pusat, Jakarta. Kebebasan akan hal ini, harus dijadikan peluang untuk membangun potensi yang ada.
Karena itu makna pembangunan, jangan hanya dilihat dari sukses dan tidaknya sarana jalan tol, pasar swalayan, mal-mal atau bahkan tempat-tempat hiburan yang kini sedang ”menggoda” mata budaya. Padahal ada hal yang lebih penting dari pesan Eric From dalam bukunya Manusia Bagi Dirinya bahwa, ”Ketidakharmonisan eksistensi, manusia menimbulkan kebutuhan yang jauh melebihi kebutuhan asli kebinatangannya. Kebutuhan-kebutuhan ini menimbulkan dorongan yang memaksa untuk memperbaiki sebuah kesatuan dan keseimbangan antara dirinya dan bagian alam.”
Jika demikian masalahnya, masihkah kita men-dewa-kan pembangunan dalam arti yang harafiah sebagai lingkup keberadaan manusia. Sebab masih ada yang lebih substansial, pembangunan manusia seutuhnya lewat kesenian adalah cermin bagi kepribadian bangsa. Ironis, selama ini kita hanya terlena dalam memikirkan nasib bangsa dari sisi pembangunan perut semata. Akibatnya, dari waktu ke waktu, kita hanya bisa merenungi peradaban baru yang membawa bangsa ini semakin bodoh.

Senin, 30 Juni 2008

NAMA : DIAN IRMAWATI

NPM : 20074150053

PRODI : PEND. BIOLOGI (2-B)

TUGAS : PENGANTAR PENDIDIKAN

“NILAI-NILAI PENDIDIKAN”

PENDIDIKAN AGAMA DAN NILAI TOLERANSI

SERING munculnya konflik horizontal di tengah masyarakat pluralis religius, yang mengarah kepada pertentangan SARA, membuat isu tentang peranan agama bagi kelangsungan hidup yang tenteram dan toleran terus menarik untuk diperbincangkan. Sebagai negara yang menempatkan agama sebagai falsafah moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi konflik yang sering muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama di Tanah Air sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang mempunyai peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik.

Ada persepsi yang keliru pada masyarakat kita tentang fungsi, peran, dan keberhasilan pendidikan. Masyarakat sering tergelincir pada asumsi bahwa keberhasilan pendidikan seseorang diukur oleh nilai ekonomis yang dicapai seseorang ketika menamatkan jenjang pendidikannya. Mendiknas Prof Dr Abdul Malik Fadjar pada Simposium Kebangkitan Jiwa yang diselenggarakan Forum Kebangkitan Jiwa, pada Rabu, 6 Maret 2002, pernah mengatakan bahwa pendidikan telah lama menjadi alat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

Pernyataan Mendiknas tersebut dengan jelas menggambarkan bahwa umumnya masyarakat Indonesia menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengejar ekonomi. Orientasi pada nilai ekonomi pada gilirannya akan menyampingkan tujuan utama pendidikan sebagai proses pembentukan peradaban dan pendewasaan sikap. Lebih jauh, dengan orientasi ekonomi menyebabkan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan moral dan mental spiritual, seperti pendidikan agama menjadi dinomorduakan. Tak heran kalau ada asumsi bahwa salah satu penyebab lunturnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme agama pada masyarakat Indonesia terjadi karena nilai-nilai pendidikan agama yang diajarkan di sekolah kurang diminati dan dihayati.

Timbul pertanyaan, apa yang salah dengan metode pengajaran agama-agama pada dunia pendidikan kita? Apakah tidak diminatinya pendidikan agama disebabkan oleh pergeseran orientasi tujuan pendidikan yang diharapkan masyarakat atau karena pendekatan pengajaran agama tidak lagi menarik dan membosankan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentunya memerlukan penelitian yang mendalam. Meski demikian, adalah menarik untuk mengkaji apa yang dikemukakan oleh Brenda Watson dalam bukunya Education and Belief (1987) yang menyebut beberapa kesalahan pengajaran agama di sekolah. Pertama, sering terjadi bahwa guru mengubah proses pendidikan (education-process) menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process).

Murid bukannya diberi kebebasan untuk bertanya, mengkritisi, dan mempertanyakan doktrin agama, tetapi cenderung dipaksa untuk menerima doktrin agama sebagai sesuatu yang absolut dan tidak boleh dibantah

Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih menekankan pada pelajaran yang bersifat normatif-informatif dan sedikit menekankan pada religious education.

Ketiga, ini berkaitan dengan sesuatu yang cukup rumit untuk dielakkan, yaitu biasanya seorang guru susah untuk melepaskan ideologi atau komitmen agama yang dianutnya ketika mengajarkan pendidikan agama. Kesalahan ini diperparah oleh kesalahan pendekatan berikutnya, yaitu biasanya orang tua murid pun memunyai peranan yang besar dalam membangun fanatisme keagamaan seorang anak didik. Orang tua biasanya khawatir kalau anaknya masuk ke sekolah yang memunyai ciri khas agama berbeda dengan kepercayaan mereka.

Kesalahan-kesalahan pendekatan di atas terjadi pada tradisi pengajaran agama-agama besar di dunia. Kesalahan pengajaran tersebut pada satu sisi menyebabkan pengajaran agama kehilangan peminat. Apalagi bagi siswa yang sudah terbiasa dengan tradisi kritis mempertanyakan segala bentuk informasi yang menurut akal mereka perlu dipertanyakan. Di sisi lain, pendekatan seperti itu akan menumbuhkan fanatisme keagamaan yang kental dan pada akhirnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme yang diemban oleh setiap agama kehilangan nilai signifikansinya dalam memupuk persaudaraan sesama umat manusia.

***

Untuk meminimalisasi kesalahan pendekatan dalam pengajaran agama di sekolah, Watson (1987) lebih jauh mengajukan solusi alternatif dengan tiga penekanan pengajaran agama. Baginya pengajaran agama sebaiknya harus memerhatikan tiga elemen penting dalam diri anak didik; pengalaman (experience), imajinasi (imagination), dan pemikiran (thinking). Tanpa pengalaman tak ada sesuatu pun yang bisa diketahui dengan sempurna. Ungkapan ini dengan jelas menggambarkan bahwa segala sesuatu, termasuk pemahaman keberagamaan perlu latihan dan pengalaman.

Pentingnya menghubungkan antara pendidikan dan pengalaman anak didik telah lama dikenal dalam dunia pendidikan. Pengalaman adalah komponen dasar dalam membangun saling pengertian. Pendidikan agama seharusnya dapat membantu manusia merasakan apa yang dialami dan dirasakan orang lain. Untuk membantu seorang anak didik merasakan apa yang dialami oleh orang lain, imajinasi diperlukan. Imajinasi bisa membantu melatih emosi. Dalam pendidikan agama, imajinasi bisa membantu seorang anak didik memahami pengalaman agama orang lain.

Contoh, selama ini hanya muslim yang mengenal dan merasakan nilai Islam dan hanya orang Kristen yang merasakan indahnya nilai Kekristenan. Kalau imajinasi ditekankan dalam pendidikan agama, seorang anak didik akan merasakan pengalaman keagamaan orang lain, yang pada akhirnya rasa toleransi akan tumbuh dan fanatisme akan berkurang.

Setelah penekanan pada pengalaman dan imajinasi, pendidikan agama akan lebih komplit kalau dibarengi dengan penekanan pada aspek berpikir. Pengalaman dan imajinasi pada akhirnya akan merangsang anak didik untuk berpikir dan merenung. Ketika seorang guru gagal melengkapi kemampuan siswa untuk berpikir secara jernih tentang pengalaman dan imajinasi keagamaan, proses indoktrinasi dalam pendidikan agama akan terus berlangsung. Setelah anak didik mahir melihat pengalaman dan berimajinasi serta merasakan pengalaman keagamaan orang lain, disertai dengan berpikir kritis terhadap dogma agama, diharapkan pendidikan agama yang menekankan toleransi dan pluralisme akan bisa dibangun. Akhirnya, dengan penekanan pada ketiga aspek ini diharapkan tujuan pendidikan agama tidak salah kaprah. Tujuan pendidikan agama bukan dimaksudkan untuk mengarahkan anak didik menjadi ‘beragama’, tapi membantu anak didik untuk memahami eksistensi agama.***