Senin, 30 Juni 2008

NAMA : DIAN IRMAWATI

NPM : 20074150053

PRODI : PEND. BIOLOGI (2-B)

TUGAS : PENGANTAR PENDIDIKAN

“NILAI-NILAI PENDIDIKAN”

PENDIDIKAN AGAMA DAN NILAI TOLERANSI

SERING munculnya konflik horizontal di tengah masyarakat pluralis religius, yang mengarah kepada pertentangan SARA, membuat isu tentang peranan agama bagi kelangsungan hidup yang tenteram dan toleran terus menarik untuk diperbincangkan. Sebagai negara yang menempatkan agama sebagai falsafah moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi konflik yang sering muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama di Tanah Air sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang mempunyai peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik.

Ada persepsi yang keliru pada masyarakat kita tentang fungsi, peran, dan keberhasilan pendidikan. Masyarakat sering tergelincir pada asumsi bahwa keberhasilan pendidikan seseorang diukur oleh nilai ekonomis yang dicapai seseorang ketika menamatkan jenjang pendidikannya. Mendiknas Prof Dr Abdul Malik Fadjar pada Simposium Kebangkitan Jiwa yang diselenggarakan Forum Kebangkitan Jiwa, pada Rabu, 6 Maret 2002, pernah mengatakan bahwa pendidikan telah lama menjadi alat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

Pernyataan Mendiknas tersebut dengan jelas menggambarkan bahwa umumnya masyarakat Indonesia menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengejar ekonomi. Orientasi pada nilai ekonomi pada gilirannya akan menyampingkan tujuan utama pendidikan sebagai proses pembentukan peradaban dan pendewasaan sikap. Lebih jauh, dengan orientasi ekonomi menyebabkan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan moral dan mental spiritual, seperti pendidikan agama menjadi dinomorduakan. Tak heran kalau ada asumsi bahwa salah satu penyebab lunturnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme agama pada masyarakat Indonesia terjadi karena nilai-nilai pendidikan agama yang diajarkan di sekolah kurang diminati dan dihayati.

Timbul pertanyaan, apa yang salah dengan metode pengajaran agama-agama pada dunia pendidikan kita? Apakah tidak diminatinya pendidikan agama disebabkan oleh pergeseran orientasi tujuan pendidikan yang diharapkan masyarakat atau karena pendekatan pengajaran agama tidak lagi menarik dan membosankan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentunya memerlukan penelitian yang mendalam. Meski demikian, adalah menarik untuk mengkaji apa yang dikemukakan oleh Brenda Watson dalam bukunya Education and Belief (1987) yang menyebut beberapa kesalahan pengajaran agama di sekolah. Pertama, sering terjadi bahwa guru mengubah proses pendidikan (education-process) menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process).

Murid bukannya diberi kebebasan untuk bertanya, mengkritisi, dan mempertanyakan doktrin agama, tetapi cenderung dipaksa untuk menerima doktrin agama sebagai sesuatu yang absolut dan tidak boleh dibantah

Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih menekankan pada pelajaran yang bersifat normatif-informatif dan sedikit menekankan pada religious education.

Ketiga, ini berkaitan dengan sesuatu yang cukup rumit untuk dielakkan, yaitu biasanya seorang guru susah untuk melepaskan ideologi atau komitmen agama yang dianutnya ketika mengajarkan pendidikan agama. Kesalahan ini diperparah oleh kesalahan pendekatan berikutnya, yaitu biasanya orang tua murid pun memunyai peranan yang besar dalam membangun fanatisme keagamaan seorang anak didik. Orang tua biasanya khawatir kalau anaknya masuk ke sekolah yang memunyai ciri khas agama berbeda dengan kepercayaan mereka.

Kesalahan-kesalahan pendekatan di atas terjadi pada tradisi pengajaran agama-agama besar di dunia. Kesalahan pengajaran tersebut pada satu sisi menyebabkan pengajaran agama kehilangan peminat. Apalagi bagi siswa yang sudah terbiasa dengan tradisi kritis mempertanyakan segala bentuk informasi yang menurut akal mereka perlu dipertanyakan. Di sisi lain, pendekatan seperti itu akan menumbuhkan fanatisme keagamaan yang kental dan pada akhirnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme yang diemban oleh setiap agama kehilangan nilai signifikansinya dalam memupuk persaudaraan sesama umat manusia.

***

Untuk meminimalisasi kesalahan pendekatan dalam pengajaran agama di sekolah, Watson (1987) lebih jauh mengajukan solusi alternatif dengan tiga penekanan pengajaran agama. Baginya pengajaran agama sebaiknya harus memerhatikan tiga elemen penting dalam diri anak didik; pengalaman (experience), imajinasi (imagination), dan pemikiran (thinking). Tanpa pengalaman tak ada sesuatu pun yang bisa diketahui dengan sempurna. Ungkapan ini dengan jelas menggambarkan bahwa segala sesuatu, termasuk pemahaman keberagamaan perlu latihan dan pengalaman.

Pentingnya menghubungkan antara pendidikan dan pengalaman anak didik telah lama dikenal dalam dunia pendidikan. Pengalaman adalah komponen dasar dalam membangun saling pengertian. Pendidikan agama seharusnya dapat membantu manusia merasakan apa yang dialami dan dirasakan orang lain. Untuk membantu seorang anak didik merasakan apa yang dialami oleh orang lain, imajinasi diperlukan. Imajinasi bisa membantu melatih emosi. Dalam pendidikan agama, imajinasi bisa membantu seorang anak didik memahami pengalaman agama orang lain.

Contoh, selama ini hanya muslim yang mengenal dan merasakan nilai Islam dan hanya orang Kristen yang merasakan indahnya nilai Kekristenan. Kalau imajinasi ditekankan dalam pendidikan agama, seorang anak didik akan merasakan pengalaman keagamaan orang lain, yang pada akhirnya rasa toleransi akan tumbuh dan fanatisme akan berkurang.

Setelah penekanan pada pengalaman dan imajinasi, pendidikan agama akan lebih komplit kalau dibarengi dengan penekanan pada aspek berpikir. Pengalaman dan imajinasi pada akhirnya akan merangsang anak didik untuk berpikir dan merenung. Ketika seorang guru gagal melengkapi kemampuan siswa untuk berpikir secara jernih tentang pengalaman dan imajinasi keagamaan, proses indoktrinasi dalam pendidikan agama akan terus berlangsung. Setelah anak didik mahir melihat pengalaman dan berimajinasi serta merasakan pengalaman keagamaan orang lain, disertai dengan berpikir kritis terhadap dogma agama, diharapkan pendidikan agama yang menekankan toleransi dan pluralisme akan bisa dibangun. Akhirnya, dengan penekanan pada ketiga aspek ini diharapkan tujuan pendidikan agama tidak salah kaprah. Tujuan pendidikan agama bukan dimaksudkan untuk mengarahkan anak didik menjadi ‘beragama’, tapi membantu anak didik untuk memahami eksistensi agama.***

Minggu, 22 Juni 2008

NAMA : DIAN IRMAWATI
NPM : 200741500053
TUGAS : PENGANTAR PENDIDIKAN
"KEUNIKAN DARI PENDIDIKAN"
PRODI : PENDIDIKAN BIOLOGI
KELAS : 2-B


Rabu, 11 Agustus 2004

Keunikan di Kawasan Elite Athena

Jam masih menunjukkan 20 menit menjelang pukul lima sore. Puluhan orang berkerumun di depan Gedung Parlemen Yunani, menunggu prosesi pergantian pasukan penjaga-biasa disebut Evzones-di depan bangunan Makam Tentara Tanpa Nama (The Tomb of The Unknown Soldier). Upacara "militer" ini menjadi tontonan khas, bukan saja karena prosesinya yang menarik, tetapi juga karena seragam mereka yang sungguh unik. Mirip seragam "pom-pom" atau pemandu sorak.

Kelima serdadu itu memakai sepatu klok (sepatu kayu) dengan umbul-umbul di ujungnya, lalu setoking warna putih yang dipakai sampai di atas paha dengan rumbai-rumbai hitam (tassel). Namun, yang paling unik adalah seragam pakaiannya yang menyerupai "rok" berlipit warna coklat, lengkap dengan topi merah dihiasi tassel yang melambai seperti rambut palsu.<>

Nama seragam itu foustanella. Mengapa mereka tetap mempertahankan pakaian seperti itu? Menurut Time Out, sejarahnya berpulang ke tahun 1820-an ketika bangsa Yunani terlibat dalam perang kemerdekaan melawan tentara pendudukan Turki.

Disebutkan bahwa saat itu Yunani belum memiliki pasukan militer formal, namun mereka memiliki para pejuang tangguh yang melakukan perlawanan gerilya dari pegunungan di sebelah utara Yunani. Para pejuang ini memiliki cara berpakaian yang khas, yaitu rok kilt (seperti rok Skotlandia) sampai selutut, setoking, dan rompi penuh bordiran.

Ada juga yang menganggap bahwa dipilihnya rok selutut saat itu karena mengikuti gaya berpakaian tentara Romawi. Raja pertama Yunani, Kaisar Otto, kemudian mendeklarasikan foustanella sebagai seragam militer nasional, sampai kemudian ditetapkan hanya sebagai seragam eksklusif resimen penjaga istana.Begitu pukul lima sore tiba, para serdadu yang selama tugas berdiam seperti patung itu tiba- tiba bergerak. Kaki kanan digoyang-goyangkan perlahan, kemudian ditendangkan lurus ke atas (seperti hentakan kaki kuda).

Langkah mereka dilakukan dengan ritme yang lambat sehingga terlihat bagai tarian. Hentakan kaki itu juga diiringi dengan gerakan tangan yang memainkan popor bedil. Sangat menarik dan kontras karena wajah serdadu yang melakukannya tanpa ekspresi, bahkan cenderung "dingin". Prosesi ini berlangsung sekitar lima menit.

Untunglah komandan mereka-yang berpakaian seragam tentara biasa, mengerti kemauan penonton dan mengizinkan penonton berfoto bersama para Evzones. Ada juga beberapa pengunjung yang mencoba menggoda sang Evzones dengan gaya genit, namun yang digoda serdadu tulen. Pandangannya tetap lurus ke depan, berkedip pun tidak.

Sampai sekarang para serdadu Evzones tetap menjadi bagian dari militer Yunani, namun mereka tidak berperang dan tugasnya lebih banyak bersifat seremonial. Meskipun disaring lewat wajib militer, mereka yang dipilih konon diutamakan yang memiliki penampilan fisik yang menarik.

Tak mengherankan bila pergantian serdadu Evzones ini menarik banyak perhatian karena didukung juga oleh letak gedung Parlemen yang sangat strategis. Gedung ini berada di jalan utama Vasilissis Sofias, dan tepat berhadapan dengan alun-alun Syntagma yang merupakan alun-alun paling populer di Athena.

Alun-alun ini seperti semacam tempat pertemuan sosial warga setempat, lengkap dengan bangku-bangku untuk mengobrol atau sekadar menonton orang lewat. Bagi wisatawan, alun-alun ini juga sering dijadikan sebagai meeting point karena lokasinya yang mudah dijangkau.

Dalam rangka Olimpiade, alun-alun itu kini bisa langsung menembus stasiun bawah tanah Syntagma, yang merupakan stasiun kereta api dan metro terbesar di Athena. Di stasiun ini bisa pula dilihat sebuah museum kecil ala Louvre yang memamerkan benda-benda berusia ribuan tahun yang ditemukan di bawah lokasi stasiun.

Temuan yang menarik di antaranya adalah sebuah guci besar berbentuk lonjong seperti telur yang ditemukan sekitar tahun 300 sebelum Masehi (SM). Menarik, karena guci ini sangat mulus, utuh, dan tak memiliki retakan.

Ada juga pipa leding zaman Romawi yang dibuat dari terakota. Susunannya mirip alat peniup suling, namun dalam bentuk raksasa. Di Syntagma ini juga ditemukan kuburan-kuburan purbakala, lengkap bersama mosaiknya yang semuanya dipamerkan di lantai dasar stasiun itu.

Ditemukannya berbagai artifak yang rata-rata berusia lebih dari 1500 tahun itu membuat perluasan stasiun Syntagma mengalami penundaan. Mungkin, itu juga yang menjadi alasan, mengapa Yunani dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya merupakan negara yang paling "ketinggalan" dalam membangun transportasi bawah tanah.

HANYA beberapa langkah di seberang kanan gedung Parlemen menjulang Hotel Grand Bretagne yang dibangun tahun 1892, dan sejak dahulu menjadi pilihan kaum jet set, seperti Jackie Kennedy atau penyanyi Perancis Edith Piaf.

Selama Perang Dunia II hotel ini pernah menjadi markas pasukan Yunani, Jerman, dan Inggris. Ketika Winston Churchill berkunjung pada malam Natal tahun 1942, rencana untuk meledakkan bom di hotel ini berhasil digagalkan. Sampai kemarin pun Grand Bretagne dijaga sangat ketat dan para wisatawan dilarang memotret bangunan bersejarah tersebut.

Masih berdekatan dengan lokasi gedung parlemen, adalah Stadion Panathenaic (Panathinaikon) yang merupakan tempat penyelenggaraan Olimpiade modern pertama pada April 1896.

Stadion olahraga yang dibuat dari marmer ini dirancang Lykourgus pada tahun 330-329 SM dan secara berkala digunakan sebagai tempat pertunjukan.

Fungsi stadion ini kemudian dikembalikan ke asalnya, yaitu sebagai ajang perlombaan Panathenaic Games tahun 144 oleh orang Romawi bernama Herodes Atticus asal Kota Marathon (nama Herodes Atticus diabadikan pada bangunan teater di Acropolis yang pernah digunakan konser oleh pemusik asal Yunani, Yanni).

Namun, karena tak terurus, stadion ini akhirnya hancur perlahan dan marmernya digunakan untuk membangun gedung-gedung lain. Sekitar pertengahan abad ke-18, renovasi kembali dilakukan. Saat ini Panathinaikon kerap digunakan untuk pertunjukan konser, dan sebagai garis finis perlombaan maraton tahunan, dengan kapasitas penonton 80.000 orang.

Menjelang Olimpiade 2004, wajah Panathinaikon memang sudah dipercantik. Meskipun pengunjung tak diizinkan masuk atas alasan keamanan, dari luar wajah Panathinaikon bisa terlihat jelas. Tak ada bekas-bekas bahwa stadion ini merupakan peninggalan purbakala. Bahkan, bila dibandingkan dengan Stadion Utama Senayan, Panathinaikon rasanya terlihat lebih "baru" dan bersih.

Tiang-tiang bendera yang mengelilingi stadion dan ditempatkan di puncak bangunan telah diisi dengan kibaran bendera para peserta Olimpiade. Sedangkan bendera-bendera Olimpiade yang berwarna biru berjejer rapi di pelataran bawah.

Athena telah siap menanti Olimpiade.

KOMPAS (Myrna Ratna dari Athena)

Senin, 16 Juni 2008

toreng..................to..............reng......................

Fahrenheit Glitter Images Get Embed Code


Fahrenheit Glitter Images Get Embed Code


Fahrenheit Glitter Images Get Embed Code

tugas pengantar pendidikan

tugas diskusi semester II

Tugas pengantar pendidikan

Disusun oleh :

Dian Irmawati

200741500053

PRODI .Pendidikan Biologi

FTMIPA

Semester II kelas B

I . Pendapat para pakar psikologi tentang pendidikan .

A .Jhon Dewey (1859-1952)

Jhon Dewey merupakan peletak dasar falsafah pragtisme dan penganut behaviorisme .Jhon Dewey sering dipandang sebagai pemikir dan peletak dasar masyrakat modern Amerika .Dasar filosofis dan pendagogis dari pengajaran-pengajaran proyek ,namun pelaksanaanya dilakukan oleh pengikut utamanya W.H. Kilpatrick (1871-…..) .Dewey menegaskan bahwa sekolah haruslah sebagai mikrokosmos dari masyarakat (becomes microcosm of society) ;oleh karena itu ,pendidikan adalah suatu proses kehidupan di masa depan (education is procees of living and not a preparation for future living)(Ullich ,1950:318)

B .Edward .L. Thorndike (1874-1949)

Edward .L.Thorndike merupakan salah satu penganut paham Aliran Empirisme atau biasa disebut dengan aliran eviromental .Menurut pandangan Thorndike adalah menekankan perana dari suatu perilaku sepretidalam “operant conditioning” atau “instrumental learning” .Hal ini dikemukakan oleh Thorndike bersama dengan rekannya Burhuss .F. Skinner (1904-….) di Amerika Serikat .

Aliran Empirisme atau biasa disebut aliran environmental karena dimana pendidik memegang peranan penting sebab pendidik dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman .Pengalaman-pengalaman itu tentunya yang sesuai dengan tujuan pendidikan .

C .J.J Rousseau (1712-1778)

Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah aliran naturalisme yang dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J Rousseau (1712-1778).Berbeda dengan filsuf Jerman Schopenhaeur (1778-1860),Rousseau berpendapat bahwa semua anak dilahirkan mempunyai pembawaan buruk .Pembawaan baik anak akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan .Ia juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu .

Aliran ini juga disebut negativisme ,karena ia berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam .Jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan .Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas .Seperti diketahui ,gagasan naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan sampai saat ini tidak terbukti malahan sebaliknya :Pendidikan makin lama makin diperlukan .

III . Penyampaian pendapat tentang penguasaan Sains ,Metode pembelajaran dan Seni Mengajar memberikan konstribusi yang sangat berhasil pada metode pembelajaran (Johnson et .all,2000 & Newman ,2000) .

Menurut pendapat saya ,karena sains ,metode pembelajaran dan seni mengajar saling menguntungkan satu sama lain maka apabila salah satunya tidak saling melengkapi maka bukan tidak mungkin bahwa sistem pengajaran kita akan kacau balau.
Contohnya ,seorang guru yang baru saja lulus dan yang memiliki kemampuan dalam sains dan metode pengajaran yang amat baik tetapi ia tidak menguasai seni dalam sistem pengajarannya dan hal ini menyebabkan ia tidak dapat berinteraksi dengan baik dalam menjari murid-muridnya bukan tidak mungkin pula ia akan kehilangan pekerjaannya juga reputasi yang belum tentu akan ia sandang sesuai dengan gelar sarjana yang telah ia dapatkan

Minggu, 08 Juni 2008

pengantar pendidikan

DIAN IRMAWATI
200741500053
PENDIDIKAN BIOLOGI (2-B)
TUGAS PENGANTAR PENDIDIKAN

Essensialisme/Essentialism

Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghen¬daki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang essen¬sial dan bersifat menuntun.
Kelemahan dari Essentialism menginginkan pendidikan yang bersendikan atas nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya yang sampai kepada manusia melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan bertugas sebagai perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang tinggi

Progresivism

Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru.
Progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan seharusnya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai tuntutan lingkungan.
Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya. Progressifime mempunyai konsep yang didasari oleh kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam keberlangsungan manusia itu sendiri. sehubungan dengan hal itu, progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter.
Kelamahan Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mem¬punyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat yang semestinya kepada kemampuan-kemampuan dalam proses pendidikan. Padahal semua itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progress).
Kelebihan dari paham kemajuan (progress) ini menjadi perhatian kaum progressifisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menum¬buhkan kemajuan dipandang oleh progressifisme merupakan bagian-bagian utama dari kemapanan sebuah peradaban.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : John Dewey, Carl Rogers, Abraham Maslow, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff.

Konstruktivisme/konstruktivism

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
Dalam penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa. Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu.
Kelemahan dari paham ini karena dalam penerapannya proses belajar mengajar lebih mengiginkan seorang anak didik mengerti akan objek-objek yang ia lihat maka paham ini belum begitu cocok dengan sistem pendidikan saat ini dikarenakan anak didik tersebut belum tentu dapat berinteraksi dengan baik bersama lingkungan sekitar .
Dalam dunia pendidikan konstruktivisme beranggapan bahwa pe¬nge¬tahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia mengkons¬truksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena dan lingkungan sekitar. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan meme¬cahkan persoalan atau fenomena. Bagi kaum konstruktivisme, penge¬tahuan tidak bisa begitu saja ditransfer dari seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri, karena pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa tokoh yang mempergunakan paham ini adalah : Theodore Braneld , Harold Shane ,Mario Fantini ,Michael Apple.

pengantar pendidikan

DIAN IRMAWATI
200741500053
PENDIDIKAN BIOLOGI (2-B)
TUGAS PENGANTAR PENDIDIKAN

Essensialisme/Essentialism


Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghen¬daki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang essen¬sial dan bersifat menuntun.
Kelemahan dari Essentialism menginginkan pendidikan yang bersendikan atas nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya yang sampai kepada manusia melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan bertugas sebagai perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang tinggi


Progresivism


Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru.
Progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan seharusnya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai tuntutan lingkungan.
Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya. Progressifime mempunyai konsep yang didasari oleh kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam keberlangsungan manusia itu sendiri. sehubungan dengan hal itu, progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter.
Kelamahan Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mem¬punyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat yang semestinya kepada kemampuan-kemampuan dalam proses pendidikan. Padahal semua itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progress).
Kelebihan dari paham kemajuan (progress) ini menjadi perhatian kaum progressifisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menum¬buhkan kemajuan dipandang oleh progressifisme merupakan bagian-bagian utama dari kemapanan sebuah peradaban.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : John Dewey, Carl Rogers, Abraham Maslow, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff.


Konstruktivisme/konstruktivism


Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
Dalam penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa. Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu.
Kelemahan dari paham ini karena dalam penerapannya proses belajar mengajar lebih mengiginkan seorang anak didik mengerti akan objek-objek yang ia lihat maka paham ini belum begitu cocok dengan sistem pendidikan saat ini dikarenakan anak didik tersebut belum tentu dapat berinteraksi dengan baik bersama lingkungan sekitar .
Dalam dunia pendidikan konstruktivisme beranggapan bahwa pe¬nge¬tahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia mengkons¬truksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena dan lingkungan sekitar. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan meme¬cahkan persoalan atau fenomena. Bagi kaum konstruktivisme, penge¬tahuan tidak bisa begitu saja ditransfer dari seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri, karena pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa tokoh yang mempergunakan paham ini adalah : Theodore Braneld , Harold Shane ,Mario Fantini ,Michael Apple.