

NAMA : DIAN IRMAWATI
NPM : 20074150053
PRODI : PEND. BIOLOGI (2-B)
TUGAS : PENGANTAR PENDIDIKAN
“NILAI-NILAI PENDIDIKAN”
PENDIDIKAN AGAMA DAN NILAI TOLERANSI
SERING munculnya konflik horizontal di tengah masyarakat pluralis religius, yang mengarah kepada pertentangan SARA, membuat isu tentang peranan agama bagi kelangsungan hidup yang tenteram dan toleran terus menarik untuk diperbincangkan. Sebagai negara yang menempatkan agama sebagai falsafah moral kehidupan berbangsa, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan pendidikan agama terhadap upaya pemerintah dalam mereduksi konflik yang sering muncul di Tanah Air. Apa yang salah dengan pendidikan agama di Tanah Air sehingga seolah-olah agama sebagai landasan moral bangsa kurang mempunyai peranan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik.
Pernyataan Mendiknas tersebut dengan jelas menggambarkan bahwa umumnya masyarakat
Timbul pertanyaan, apa yang salah dengan metode pengajaran agama-agama pada dunia pendidikan kita? Apakah tidak diminatinya pendidikan agama disebabkan oleh pergeseran orientasi tujuan pendidikan yang diharapkan masyarakat atau karena pendekatan pengajaran agama tidak lagi menarik dan membosankan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentunya memerlukan penelitian yang mendalam. Meski demikian, adalah menarik untuk mengkaji apa yang dikemukakan oleh Brenda Watson dalam bukunya Education and Belief (1987) yang menyebut beberapa kesalahan pengajaran agama di sekolah. Pertama, sering terjadi bahwa guru mengubah proses pendidikan (education-process) menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process).
Murid bukannya diberi kebebasan untuk bertanya, mengkritisi, dan mempertanyakan doktrin agama, tetapi cenderung dipaksa untuk menerima doktrin agama sebagai sesuatu yang absolut dan tidak boleh dibantah
Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih menekankan pada pelajaran yang bersifat normatif-informatif dan sedikit menekankan pada religious education.
Ketiga, ini berkaitan dengan sesuatu yang cukup rumit untuk dielakkan, yaitu biasanya seorang guru susah untuk melepaskan ideologi atau komitmen agama yang dianutnya ketika mengajarkan pendidikan agama. Kesalahan ini diperparah oleh kesalahan pendekatan berikutnya, yaitu biasanya orang tua murid pun memunyai peranan yang besar dalam membangun fanatisme keagamaan seorang anak didik. Orang tua biasanya khawatir kalau anaknya masuk ke sekolah yang memunyai ciri khas agama berbeda dengan kepercayaan mereka.
Kesalahan-kesalahan pendekatan di atas terjadi pada tradisi pengajaran agama-agama besar di dunia. Kesalahan pengajaran tersebut pada satu sisi menyebabkan pengajaran agama kehilangan peminat. Apalagi bagi siswa yang sudah terbiasa dengan tradisi kritis mempertanyakan segala bentuk informasi yang menurut akal mereka perlu dipertanyakan. Di sisi lain, pendekatan seperti itu akan menumbuhkan fanatisme keagamaan yang kental dan pada akhirnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme yang diemban oleh setiap agama kehilangan nilai signifikansinya dalam memupuk persaudaraan sesama umat manusia.
***
Untuk meminimalisasi kesalahan pendekatan dalam pengajaran agama di sekolah, Watson (1987) lebih jauh mengajukan solusi alternatif dengan tiga penekanan pengajaran agama. Baginya pengajaran agama sebaiknya harus memerhatikan tiga elemen penting dalam diri anak didik; pengalaman (experience), imajinasi (imagination), dan pemikiran (thinking). Tanpa pengalaman tak ada sesuatu pun yang bisa diketahui dengan sempurna. Ungkapan ini dengan jelas menggambarkan bahwa segala sesuatu, termasuk pemahaman keberagamaan perlu latihan dan pengalaman.
Pentingnya menghubungkan antara pendidikan dan pengalaman anak didik telah lama dikenal dalam dunia pendidikan. Pengalaman adalah komponen dasar dalam membangun saling pengertian. Pendidikan agama seharusnya dapat membantu manusia merasakan apa yang dialami dan dirasakan orang lain. Untuk membantu seorang anak didik merasakan apa yang dialami oleh orang lain, imajinasi diperlukan. Imajinasi bisa membantu melatih emosi. Dalam pendidikan agama, imajinasi bisa membantu seorang anak didik memahami pengalaman agama orang lain.
Contoh, selama ini hanya muslim yang mengenal dan merasakan nilai Islam dan hanya orang Kristen yang merasakan indahnya nilai Kekristenan. Kalau imajinasi ditekankan dalam pendidikan agama, seorang anak didik akan merasakan pengalaman keagamaan orang lain, yang pada akhirnya rasa toleransi akan tumbuh dan fanatisme akan berkurang.
Setelah penekanan pada pengalaman dan imajinasi, pendidikan agama akan lebih komplit kalau dibarengi dengan penekanan pada aspek berpikir. Pengalaman dan imajinasi pada akhirnya akan merangsang anak didik untuk berpikir dan merenung. Ketika seorang guru gagal melengkapi kemampuan siswa untuk berpikir secara jernih tentang pengalaman dan imajinasi keagamaan, proses indoktrinasi dalam pendidikan agama akan terus berlangsung. Setelah anak didik mahir melihat pengalaman dan berimajinasi serta merasakan pengalaman keagamaan orang lain, disertai dengan berpikir kritis terhadap dogma agama, diharapkan pendidikan agama yang menekankan toleransi dan pluralisme akan bisa dibangun. Akhirnya, dengan penekanan pada ketiga aspek ini diharapkan tujuan pendidikan agama tidak salah kaprah. Tujuan pendidikan agama bukan dimaksudkan untuk mengarahkan anak didik menjadi ‘beragama’, tapi membantu anak didik untuk memahami eksistensi agama.***
Rabu, 11 Agustus 2004
Keunikan di Kawasan Elite Athena
Jam masih menunjukkan 20 menit menjelang pukul
Kelima serdadu itu memakai sepatu klok (sepatu kayu) dengan umbul-umbul di ujungnya, lalu setoking warna putih yang dipakai sampai di atas paha dengan rumbai-rumbai hitam (tassel). Namun, yang paling unik adalah seragam pakaiannya yang menyerupai "rok" berlipit warna coklat, lengkap dengan topi merah dihiasi tassel yang melambai seperti rambut palsu.
Nama seragam itu foustanella. Mengapa mereka tetap mempertahankan pakaian seperti itu? Menurut Time Out, sejarahnya berpulang ke tahun 1820-an ketika bangsa Yunani terlibat dalam perang kemerdekaan melawan tentara pendudukan Turki.
Disebutkan bahwa saat itu Yunani belum memiliki pasukan militer formal, namun mereka memiliki para pejuang tangguh yang melakukan perlawanan gerilya dari pegunungan di sebelah utara Yunani.
Langkah mereka dilakukan dengan ritme yang lambat sehingga terlihat bagai tarian. Hentakan kaki itu juga diiringi dengan gerakan tangan yang memainkan popor bedil. Sangat menarik dan kontras karena wajah serdadu yang melakukannya tanpa ekspresi, bahkan cenderung "dingin". Prosesi ini berlangsung sekitar
Untunglah komandan mereka-yang berpakaian seragam tentara biasa, mengerti kemauan penonton dan mengizinkan penonton berfoto bersama para Evzones.
Sampai sekarang para serdadu Evzones tetap menjadi bagian dari militer Yunani, namun mereka tidak berperang dan tugasnya lebih banyak bersifat seremonial. Meskipun disaring lewat wajib militer, mereka yang dipilih konon diutamakan yang memiliki penampilan fisik yang menarik.
Tak mengherankan bila pergantian serdadu Evzones ini menarik banyak perhatian karena didukung juga oleh letak gedung Parlemen yang sangat strategis. Gedung ini berada di jalan utama Vasilissis Sofias, dan tepat berhadapan dengan alun-alun Syntagma yang merupakan alun-alun paling populer di Athena.
Alun-alun ini seperti semacam tempat pertemuan sosial warga setempat, lengkap dengan bangku-bangku untuk mengobrol atau sekadar menonton orang lewat. Bagi wisatawan, alun-alun ini juga sering dijadikan sebagai meeting point karena lokasinya yang mudah dijangkau.
Dalam rangka Olimpiade, alun-alun itu kini bisa langsung menembus stasiun bawah tanah Syntagma, yang merupakan stasiun kereta api dan metro terbesar di Athena. Di stasiun ini bisa pula dilihat sebuah museum kecil ala Louvre yang memamerkan benda-benda berusia ribuan tahun yang ditemukan di bawah lokasi stasiun.
Temuan yang menarik di antaranya adalah sebuah guci besar berbentuk lonjong seperti telur yang ditemukan sekitar tahun 300 sebelum Masehi (SM). Menarik, karena guci ini sangat mulus, utuh, dan tak memiliki retakan.
Ditemukannya berbagai artifak yang rata-rata berusia lebih dari 1500 tahun itu membuat perluasan stasiun Syntagma mengalami penundaan. Mungkin, itu juga yang menjadi alasan, mengapa Yunani dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya merupakan negara yang paling "ketinggalan" dalam membangun transportasi bawah tanah.
HANYA beberapa langkah di seberang kanan gedung Parlemen menjulang Hotel Grand Bretagne yang dibangun tahun 1892, dan sejak dahulu menjadi pilihan kaum jet set, seperti Jackie Kennedy atau penyanyi Perancis Edith Piaf.
Selama Perang Dunia II hotel ini pernah menjadi markas pasukan Yunani, Jerman, dan Inggris. Ketika Winston Churchill berkunjung pada malam
Masih berdekatan dengan lokasi gedung parlemen, adalah Stadion Panathenaic (Panathinaikon) yang merupakan tempat penyelenggaraan Olimpiade modern pertama pada April 1896.
Stadion olahraga yang dibuat dari marmer ini dirancang Lykourgus pada tahun 330-329 SM dan secara berkala digunakan sebagai tempat pertunjukan.
Fungsi stadion ini kemudian dikembalikan ke asalnya, yaitu sebagai ajang perlombaan Panathenaic Games tahun 144 oleh orang Romawi bernama Herodes Atticus asal Kota Marathon (nama Herodes Atticus diabadikan pada bangunan teater di Acropolis yang pernah digunakan konser oleh pemusik asal Yunani, Yanni).
Namun, karena tak terurus, stadion ini akhirnya hancur perlahan dan marmernya digunakan untuk membangun gedung-gedung lain. Sekitar pertengahan abad ke-18, renovasi kembali dilakukan. Saat ini Panathinaikon kerap digunakan untuk pertunjukan konser, dan sebagai garis finis perlombaan maraton tahunan, dengan kapasitas penonton 80.000 orang.
Menjelang Olimpiade 2004, wajah Panathinaikon memang sudah dipercantik. Meskipun pengunjung tak diizinkan masuk atas alasan keamanan, dari luar wajah Panathinaikon bisa terlihat jelas. Tak ada bekas-bekas bahwa stadion ini merupakan peninggalan purbakala. Bahkan, bila dibandingkan dengan Stadion Utama Senayan, Panathinaikon rasanya terlihat lebih "baru" dan bersih.
Tiang-tiang bendera yang mengelilingi stadion dan ditempatkan di puncak bangunan telah diisi dengan kibaran bendera para peserta Olimpiade. Sedangkan bendera-bendera Olimpiade yang berwarna biru berjejer rapi di pelataran bawah.
Athena telah siap menanti Olimpiade.
KOMPAS (Myrna Ratna dari Athena)
Menikmati pendidikan belasan tahun di
Di Indonesia, kualitas guru di Indonesia juga masih (maaf) memprihatinkan. Lulusan sekolah menengah yang jempolan biasanya lari ke tempat yang mentereng: Ilmu Kedokteran, Teknik, Ekonomi, dan sebagainya. Praktis, mereka yang masuk Ilmu Pendidikan adalah “sisa” yang gagal bersaing masuk ke jurusan elit.
Contoh lain adalah UAN yang baru saja lewat beberapa waktu lalu. Sesuai PP 19/2005, UAN adalah indikator kelulusan. Namun banyak yang menilai UAN tak bermanfaat karena hanya mengkondisikan penyelewengan — demi anak didik dan sekolah terangkat citranya. Guru, kepala sekolah, dan bahkan pejabat daerah terlibat jadi tim sukses. Passing grade ditetapkan, tapi sarana, prasarana, dan sumberdaya belum terkondisikan. Begitu hasil jeblok, segala cara agar murid lulus, bukan dengan introspeksi. We want to look good, but didn’t want to be really good.
Sebagian menyayangkan jerih payah tiga tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Banyak murid cerdas diterima SPMB Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, tapi gagal dalam UAN. Murid cerdas justru terbebani mentalnya. Apalagi, andaikata tak lulus, mereka musti mengulang Paket C yang prestisenya kalah jauh. Dorongan belajar pada akhirnya justru sulit dibangkitkan dan hasil maksimal mustahil diperoleh.
Di sisi lain, kualitas pendidikan memang sedemikian rendahnya. Dengan passing grade yang cukup rendah dibanding negara tetangga, masih banyak juga yang tidak lulus. Ketika ada wacana untuk menaikkan standar, protes di sana-sini. Solusinya? Mungkin kembalikan saja ke sistem Ebtanas lama yang dirasa lebih “fair” dan tidak mengundang banyak masalah — sembari menunggu format UAN yang benar-benar pas buat negeri ini.
Atau, sebelum UAN, misalnya sekolah mengadakan seleksi intern sehingga hanya benar-benar murid yang siap yang bisa mengikuti UAN. Atau, UAN dilakukan dengan beberapa passing grade: yang nilainya sekian bisa mendaftar S1, yang sekian hanya bisa mendaftar diploma, yang kurang bisa mengulang tahun depan. Di Singapura, hanya murid tertentu yang qualified yang bisa lanjut S1, sementara sisanya masuk ke program diploma/poltek (atau TAFE kalau di
Atau, mencontek di negara maju, murid yang lulus UAN mendapat ijasah UAN, sementara yang tidak hanya memperoleh ijasah sekolah atau tanda tamat belajar. Di Inggris misalnya, setelah pendidikan wajib 16 tahun, murid bisa langsung kerja atau ambil A-Level selama dua tahun untuk persiapan kuliah. Di akhir program ada tes nasional dimana murid yang mendapat nilai A pada mata pelajaran utama bisa langsung masuk universitas favorit seperti
Yang jelas, jika KBK/KTSP diterapkan, kita semua musti konsisten. Evaluasi harus berdasarkan proses. UAN tak perlu dipaksakan sebagai penentu kelulusan. Tapi sejauh mana kesiapan kita (terutama di daerah) untuk menerapkannya? Itu PR kita bersama.
Asumsikan 1 persen dari jumlah warga negara adalah jenius, maka “seharusnya” ada 2,2 juta orang berbakat di
Hipotesis sementara saya, pendidikan informal (dalam hal ini keluarga) masih jadi unsur terpenting untuk membentuk pribadi yang unggulan selama pemerintah belum mampu membangun sistem pendidikan yang benar-benar mumpuni. Keluarga jugalah yang jadi benteng melawan budaya instan dan pengaruh negatif lingkungan. Dan hipotesis alternatif saya, murid-murid SMP-SMA tak seburuk yang ditulis di media. Pengaruh 18.00-21.00 yang jauh lebih kuat daripada masa studi 7.00-13.00 juga jadi salah satu faktor yang mendistorsi kualitas mereka sebenarnya. Wajar kalau di Finlandia, sewaktu istirahat para guru dan muridnya bermain LEGO robotic. Sementara di Indonesia, murid-murid lebih suka ngerokok, pacaran, atau tawuran sewaktu istirahat.
Anyway, sekadar cerita di sebuah rumah sakit umum di